Merasa Berserah

20160804_162554 copy

Ngapain ikutan diskusi kehamilan ini- itu, baca buku kehamilan setumpuk, makanan segala dijaga, buang waktu ikutan yoga, dan cape- cape jalan berkilo-kilo kalo ga ada hasilnya? kalo ga bisa lahiran ‘normal’? Itu pertanyaan yang mungkin ada di pikiran banyak orang- baik dikatakan atau hanya berdiam di benaknya- saat tahu persalinan saya berakhir di ruang operasi. Terutama mungkin orang- orang yang mengetahui bagaimana saya melakukan banyak hal demi si jabang bayi di rahim saya kala itu. Pun saya orang pertama di keluarga ibu saya yang melakukan hal- hal merepotkan demi kelancaran proses persalinan. Tapi, meski telah melakukan banyak hal, saya tetap tidak bisa menjalani persalinan idaman saya yakni per vaginam( nanti akan jelas kenapa saya tidak terlalu suka kata persalinan ‘normal’). Lalu pertanyaannya kemudian adalah nyesel ga udah cape- cape ga ada hasil? Jawaban dari semua pertanyaan itu ada pada kata berserah.

Berserah adalah padanan kata tawakal. Tawakal sendiri adalah kata yang amat umum kita dengar. Konsep tawakal ini berinti-sejauh yang saya pahami dari guru ngaji saya selama ini- pada bagaimana kita menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan, pada Allah setelah berusaha melakukan segala hal untuk mencapai hal yang kita idamkan. Itu artinya saya bertanggungjawab untuk melakukan segala hal logis yang saya bisa lakukan untuk mencapai apa yang saya inginkan. Semua usaha logis inilah yang melepaskan diri saya dari rasa bersalah yang berujung pada pikiran mengandai- andai misalnya andai dulu saya yoga pasti saya gak asah operasi dan pikiran sejenisnya. Dengan melakukan usaha logis ini, saya meyakinkan diri saya bahwa apapun hasilnya, itu adalah hasil terbaik yang Allah berikan pada saya. Yang jadi bermasalah kemudian adalah berkesesuaian atau tidaknya hasil terbaik yang Allah siapkan dengan apa yang kita harapkan. Untuk kasus saya mungkin hasil terbaiknya sedang tidak sesuai dengan harapan saya tapi semakin hari saya semakin yakin bahwa ini yang terbaik. Mungkin memang Yang Maha Tahu sadar bahwa saya belum mampu dianugerahi persalinan per vaginam, segala kontraksi yang akan saya alami. Mungkin saya harus berhenti saja menebak-nebak dan menikmati anak 10 bulan yang tidak pernah membiarkan saya sedih lama-lama ini.

Tapi saya khawatir bila sebenarnya dimensi tawakal adalah lebih dari itu. Jadilah saya menamai apa yang saya lakukan ini dengan kata berserah. Lalu gampangkah bisa berserah? Tentu tidak. Untuk hal- hal lain sebelum saya hamil, saya sulit untuk bisa berserah. Saya selalu meras bahwa saya sudan berusaha keras dan bahwa jika hasil tak serasi dengan apa yang saya maui, saya merasa kalah dan kecewa. Terkhianati. Namun, perjalanan panjang kehamilanlah yang membuahkan kepasrahan. Si suara pemberani di dalam perut saya kala itulah yang membuat saya belajar pasrah. Memiliki anak, terutama untuk wanita, adalah bukti kepasrahan. Pasrah untuk melepaskan kedirian, untuk menggondol jiwa lain dalam diri yang tadinya ‘merdeka’, pasrah akan bagaimana pun sifat dan rupa si jiwa mini itu nantinya. Pasrah setelah bertahun melebur bersama si jiwa kecil ini, suatu saat si jiwa ini akan pergi untuk kehidupannya dan pasrah bahwa si diri ini takkan pernah sama lagi.

Maka terima kasih, Gentra. Karena kamu ibu merasa pasrah namun penuh.

Leave a comment